Selasa, 17 Desember 2013

POLINDES



A.    Pengertian Pondok Bersalin Desa (POLINDES)
Pondok bersalin desa (Polindes) adalah salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam menyediakan tempat pertolongan persalinan dan pelayanan kesehatan ibu dan anak lainnya, termasuk kb di desa (Depkes RI,1999) polindes dirintis dan dikelola oleh pamong desa setempat. Berbeda dengan posyandu yang pelaksanaannya dilakukan oleh kader didukung oleh petugas puskesmas, maka petugas polindes pelayanannya tergantung pada keberadaan bidan, oleh karena pelayanan di polindes merupakan pelayan profesi kebidanan.
Kader masyarakat yang paling berkait dengan pelayanan di polindes adalah dukun bayi, oleh karena itu polindes dimanfaatkan pula sebagai sarana untuk meningkatkan kemitraan bidan dan dukun bayi dalam pertolongan persalinan. Kader posyandu dapat pula berperan di polindes seperti perannya dalam melaksanakan kegiatan posyandu yaitu dalam penggerakan masyarakat dan penyuluhan. Selain itu bila memungkinkan, kegiatan posyandu dapat dilaksanakan pada tempat yang sama dengan polindes. Idealnya suatu polindes mempunyai bangunan tersendiri namun bisa juga menumpang di salah satu rumah warga atau bersatu dengan kediaman bidan di desa, dan masih di bawah pengawasan dokter puskesmas setempat (bisma, 2006).
Pertolongan persalinan yang ditangani di polindes adalah persalinan normal serta kasus dengan factor resiko sedang (factor yang secara tidak langsung dapat membahayakan ibu hamil dan bersalin sehingga memerlukan pengawasan serta perawatan professional). Pondok bersalin desa (polindes) adalah salah satu bentuk upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM) yang merupakan wujud nyata bentuk peran serta masyarakat didalam menyediakan tempat pertolongan persalinan dan pelayanan kesehatan ibu dan anak lainnya, termasuk kb di desa.
B.     Tujuan Polindes
  1. Umum : untuk memperluas jangkauan, meningkatkan mutu dan mendekatkan pelayanan KIA/KB kepada masyarakat desa.
  2. Khusus : meningkatkan jangkauan dan mutu pelayanan ANC dan partus normal di tingkat desa, meningkatkan pembinaan dukun bayi oleh bidan desa.
  3. Meningkatkan kesempatan konsultasi dan penyuluhan kesehatan bagi ibu dan keluarga.
  4. Meningkatkan yankes bayi dan anak sesuai dengan kewenangannya
C.    Persyaratan Polindes
Secara umum persyaratan untuk mendirikan polindes adalah tersedianya tempat yang bersih, namun serasi dengan lingkungan perumahan di desa serta tersedianya tenaga bidan di desa. Secara lebih rinci, persyaratan yang perlu diusahakan adalah :
1.      Tersedianya bidan di desa yang bekerja penuh untuk mengelola polindes
2.      Tersedianya sarana untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi bidan, antara lain :
a.       Bidan kit
b.      IUD kit
c.       Sarana imunisasi dasar dan imunisasi ibu hamil
d.      Timbangan berat badan ibu dan pengukur tinggi badan
e.       Infuse set dan cairan dextrose 5% NaCl 0,9%
f.       Obat-obatan sederhana dan uteronika
g.      Buku-buku pedoman KIA dan pedoman kesehatan lainnya
h.      Incubator sederhana
3.      Memenuhi persyaratan rumah sehat, antara lain :
a.       Penyediaan air bersih
b.      Ventilasi cukup
c.       Penerangan cukup
d.      Tersedianya sarana pembuangan air limbah
e.       Lingkungan pekarangan bersih
f.       Ukuran minimal 4x4 meter persegi
4.      Lokasi dapat dicapai dengan mudah oleh penduduk sekitarnya dan mudah dijangkau oleh kendaraan roda empat
5.      Ada tempat untuk melakukan pertolongan persalinan dan perawatan post partum (minimal satu tempat tidur).
D.    Fungsi Polindes
1.      Sebagai tempat pelayanan kesehatan ibu dan anak (termasuk kb)
2.      Sebagai tempat pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan
3.      Sebagai tempat untuk konsultasi, penyuluhan dan pendidikan kesehatan masyarakat dandukun bayi maupun kader.
Faktor pendukung tumbuh kembang polindes antara lain: dukungan pemerintah daerah setempat, kerja sama lintas sektor dan lintas program (KIA dan Promkes), koordinasi yang baik antara puskesmas dengan camat dan kepala desa, kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, keberadaan bidan desa serta ketrampilan dan keramahan bidan desa. Faktor penghambat tumbuh kembang polindes antara lain kesulitan mendapatkan lokasi yang strategis, kesulitan menggali peran serta masyarakat, bidan tidak tinggal di desa, budaya masyarakat melahirkan di tolong oleh dukun dan melahirkan di rumahnya sendiri.(dinkes bonbol, 2009).


E.     Kegiatan polindes
1.      Pemeriksaan kehamilan, termasuk pemberian imunisasi pada ibu hamil, deteksi dini resti kehamilan.
2.      Menolong persalinan normal dan resiko sedang.
3.      Memberikan yankes pada ibu nifas dan menyusui.
4.      Memberikan yankes pada neonatal, bayi, balita, anak pra sekolah, imunisasi dasar pada bayi.
5.      Memberikan pelayanan KB.
6.      Mendeteksi dan memberikan pertolongan pertama pada kehamilan dan persalinan yang resti baik bagi ibu maupun bayinya.
7.      Menampung rujukan bagi dukun bayi dan kader kesehatan.
8.      Merujuk kelainan ke fasilitas kesehatan yang lebih mampu.
9.      Melatih dan membina dukun bayi maupun kader.
10.  Mencatat dan melaporkan kegiatan yang dilaksanakan pada puskesmas
F.     Indikator tingkat perkembangan Polindes
Dalam menganalisa pertumbuhan polindes harus mengacu kepada indikator tingkat perkembangan polindes yang mencakup beberapa hal diantaranya sebagai berikut:
1.      Fisik tempat yang disediakan oleh masyarakat untuk polindes perlu memenuhi persyaratan antara lain:
a.       Bangunan polindes tampak bersih, salah satunya di tandai tidak adanya sampah berserakan.
b.       Lingkungan yang sehat bila polindes jauh dari kandang ternak.
c.       Mempunyai jumlah ruang yang cukup untuk : pemeriksaan kehamilan dan pelayanan KIA, mempunyai ruang untuk pertolongan persalinan.
d.      Tempat pelayanan bersih dengan aliran udara/ventilasi yang baik terjamin,
e.       Mempunyai perabotan dan alat-alat yang memadai untuk pelaksanaan pelayanan.
f.       Mempunyai sarana air bersih dan jamban yang memenuhi persyaratan kesehatan.
Idealnya suatu polindes mempunyai bangunan sendiri dan memnuhi persyaratan di atas.
2.      Tempat tinggal bidan desa, keberadaan bidan di desa secara terus menerus (menetap) menentukan afektifitas pelayanannya, termasuk efektifitas polindes. Selain itu, jarak tempat tinggal bidan yang menetap di desa dengan polindes. Bidan yang tidak tinggal di desa dianggap tidak mungkin melaksanankan pelayanan pertolongan persalinan di polindes. Untuk mempercepat tumbuh kembang polindes bidan harus selalu berada/tingga di desa dan lebih banyak melayani masalah kesehatan masyarakat desa setempat.
3.      Peneglolaan polindes yang baik akan menentukan kualitas pelayanan, sekaligus pemanfaatan pelayanan oleh masyarakat. Kriteria pengelolaan polindes yang baik antara keterlibatan masyarakat melalui wadah lpm dalam menentukan tarif pelayanan. Tarif yang ditetapkan secara bersama, diharapkan memberikan kemudahan kepada masyrakat untuk memanfaatkan polindes, sehingga cakupan dan skaligus dapat memuaskan semua pihak.
4.      Cakupan persalinan, tinggi rendahnya cakupan persalinan dipengaruhi banyak faktor, diantaranya ketersediaan sumber daya kesehatan termasuk didalamnya keberadaan polindes beserta tenaga profesionalnya, yaitu bidan desa. Tersedianya polindes dan bidan disuatu desa memberikan kemudahan untuk mendapatkan pelayanan kia, khususnya dalam pertolongan persalinan, baik ditinjau dari segi jarak maupun segi pembiayaan. Meningkatnya cakupan persalinan yang ditolong dipolindes, selain berpengaruh terhadap kualitas pelayanan ibu hamil, sekaligus mencerminkan kemampuan bidan itu sendiri baik di dalam kempuan teknis medis maupun didalam menjalin hubungan dengan masyarakat. Cakupan persalinan dihitung secara kumulatif selama setahun.
5.      Sarana air bersih, tersedianya air bersih merupakan salah satu persyaratan untuk hidup sehat. Demikian juga halnya di dalam operasional pelayanan polindes. Polindes dianggap baik apabila telah tersedia air bersih yang dilengkapi denagn: mck, tersedianya sumber air (sumur, pompa, pam, dll) dan dilengkapi pula dengan saluran pembuangan air limbah.
6.      Kemitraan bidan dan dukun bayi kader masyarakat yang paling terkait dengan pelayanan di polindes adalah dukun bayi. Karena itu, polindes dimanfaatkan pula sebagai sarana meningkatkan kemitraan bidan dan dukun bayi dalam pertolongan persalinan. Kemitraan bidan dan dukun bayi merupakan hal yang dianjurkan dalam pelayanan pertolongan persalinan kemitraan bidan dan dukun bayi merupakan hal yang dianjurkan dalam pelayanan pertolongan persalinan di polindes. Penghitungan cakupan kemitraan bidan dan dukun dihitung secara kumulatif selama setahun.
7.      Kegiatan kie untuk kelompok sasaran kie merupakan salah satu teknologi peningkatan peran serta masyarakat yang bertujuan untuk mendorong masyarakat agar mau dan mampu memelihara dan melaksanankan hidup sehat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, melalui jalan komunikasi, informasi dan edukasi yang bersifat praktis. Dengan keberadaan polindes beserta bidan ditengah-tengah masyarakat diharapkan akan terjalin interaksi antara bidan dan masyarakat. Semakin sering bidan di desa menjalankan kie, akan semakin mendorong masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidup sehatnya, termasuk didalamnya meningkatkan kemampuan dukun bayi sebagai mitra kerja di dalam memberikan penyuluhan kesehatan ibu hamil. Seharusnya suatu polindes di dalam pelaksanaan kegiatannya telah melakukan kie untuk kelompok sasaran minimal sekali dalam setiap bulannya. Kegiatan kie ini dihitung secara kumulatif selama setahun.
8.      Dana sehat/JPKM dana sehat sebagai wahana memendirikan masyarakat untuk hidup sehat, pada gilirannya diharapkan akan mampu melestarikan berbagai jenis upaya kesehatan bersumber daya masyarakat setempat. Suatu polindes dianggap baik bila masyrakat di desa binaannya telah terliput dana sehat, sehingga diharapkan kelestarian polindes dapat terjamin, kepastian untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas tak perlu dikhawatirkan lagi (dinkes bonbol, 2009)
G.    Mutu dalam pelayanan
Wiyono (1999) menerangkan bahwa mutu dapat dilihat dari berbagai perspektif :
a.       Untuk pasien dan masyarakat, mutu pelayanan berarti suatu empati, respek dan tanggap akan kebutuhannya, pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan mereka dan diberikan dengan cara yang ramah waktu mereka berkunjung. 
b.      Untuk petugas kesehatan, mutu berarti bebas melakukan segala sesuatu secara profesional untuk meningkatkan derajat kesehatan pasien dan masyarkat sesuai dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang maju, mutu peralatan yang baik, dan memenuhi standar yang baik.
c.       Untuk manager dan administrator, mutu pelayanan tidak terlalu berhubungan langsung dengan tugas mereka sehari-hari, namun tetap sama pentingnya. Untuk manager, fokus pada mutu akan mendorongnya untuk mengatur staf, pasien dan masyarakat dengan baik.
d.      Untuk yayasan atau pemilik rumah sakit, mutu dapat berarti memiliki tenaga profesionaly yang bermutu dan cukup. Pada umumnya para manager dan pemilik institusi mengharapkan efesiensi dan kewajiban penyelanggaran, minimal tidak merugikan jika dipandang dari berbagai aspek seperti tidak adanya pemborosan tenaga, peralatan, biaya.Waktu, dan sebagainya.
H.    Unsur-unsur pokok dalam Polindes
Unsur-unsur pokok dalam program menjaga mutu pelayanan agar selalu berkwalitas terbagi atas 4 unsur, diantaranya:
a.       Unsur Masukan
Unsur masukan adalah semua hal yang diprlukan untuk terselengaranya suatu pelayanan kesehatan, unsur masukan terpenting adalah tenaga, dana dan sarana yang meliputi sarana fisik, perlengkapan, peralatan, organisasi dan managemen, keuangan, sumber daya manusia serta sumber daya lainnya di fasilitas kesehatan. Hal ini berarti yang dimaksud dengan struktur adalah input, baik tidaknya struktur sebagai input dapat diukur dari:
1.      Jumlah besarnya input
2.      Mutu struktur 
3.      Besarnya anggaran atau biaya
4.      Kewajaran
Dan sarana (kualitas dan kualitas) tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (standar of personels and facilities), serta jika dana yang tersedia tidak sesuai dengan kebutuhan, maka sulitlah diharapkan bermutunya pelayanan kesehatan.
b.      Unsur Lingkungan.
Unsur lingkungan adalah keadaan lingkungan sekitar yang mempengaruhi penyelanggaran pelayanan kesehatan. Untuk suatu institusi kesehatan, keadaan sekitar yang terpenting adalah kebijakan, organisasi dan manajemen tersebut tidak sesuai dengan standar dan/atau tidak bersifat mendukung, maka sulitlah diharapkan bermutunya pelayanan kesehatan.
c.       Unsur Proses
Unsur proses adalah semua tindakan yang dilakukan pada waktu menyelanggarakan pelayanan kesehatan. Tindakan tersebut dapat dibedakanatas dua macam yakni tindakan medis dan tindakan non-medis, secara umum disebutkan apabila kedua tindakan ini tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (standar of conduct), maka sulitlah diharapkan bermutunya pelayanan kesehtan.
Proses adalah semua kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan dan interaksinya dengan pasien.  Dalam pengertian proses ini mencakup diagnosa, rencana pengobatan, indikasi, tindakan, sarana kegiatan dokter,  kegiatan perawatan, dan penanganan kasus. Baik tidaknya proses dapat diukur dari:
1.      Relevan tidaknya proses itu bagi pasien
2.      Fleksibel dan efektifitas
3.      Mutu proses itu sendiri sesuai dengan standar pelayanan yang sesuai
4.      Kewajaran, tidak kurang dan tidak berlebihan.
d.      Unsur Keluaran
Unsur keluaran adalah yang menunjukkan pada penampilan (performance) pelayanan kesehatan. Penampilan dapat dibedakan atas dua macam, pertama penampilan aspek medis pelayanan kesehatan, kedua penampilan aspek non-medis pelayanan kesehatan. Secara umum disebutkan apabila kedua penampilan ini tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (standar of performance) maka berarti pelayanan kesehatanyang diselenggarakan bukan pelayanan kesehatan bermutu. Keempat unsur pelayanan inisaling terkait dan mempengaruhi. Out come adalah hasil akhir kagiatan dan tindakan tenaga kesehatan profesional terhadap pasien. Penilaian terhadap out come adalah hasil akhir dari kesehatan atau kepuasan. Outcome jangka pendek seperti sembuh dari sakit, cacat, dan lain-lain. Outcome jangka panjang seperti kemungkinan-kemungkinan kambuh, kemungkinan sembuh di masa datang. Berdasarkan dari penilaian di atas, mutu pelayanan yang baik menurut (sabarguna,2004) adalah:
a.       Tersedia dan terjangkau
b.      Tepat kebutuhan
c.       Tepat sumber daya
d.      Tepat standar profesi/etika profesi.

Senin, 28 Januari 2013

Thypoid abdominalis




1.      Pengertian
a.       Thypoid abdominalis  adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Ngastiyah, 2005).
b.      Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan salmonella typhii, ditandai adanya demam 7 hari atau lebih, gejala saluran pencernaan dan gangguan pada sistem saraf pusat (sakit kepala, kejang dan gangguan kesadaran). (Soegeng Soegijanto, 2002)
c.        Thypoid abdominalis merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus yang disebabkan oleh salmonella thypii. Penyakit ini dapat ditularkan melalui makanan, mulut atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman salmonella thypii. (A. Azis Alimul Hidayat, 2006.).
d.      Thypoid abdominalis merupakan infeksi berat pada usus yang disebabkan oleh bakteri salmonella typhi. (Anonim, 2007).
e.       Thypoid abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan, dan gangguan kesadaran. (Nursalam, M. Nurs dkk, 2005)
f.       Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1998 ).
g.      Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, gangguan kesadaran, dan lebih banyak menyerang pada anak usia 12 – 13 tahun ( 70% - 80% ), pada usia 30 - 40 tahun ( 10%-20% ) dan diatas usia pada anak 12-13 tahun sebanyak ( 5%-10% ). (Mansjoer, Arif 1999).
h.      Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pencernaan dan gangguan kesadaran (FKUI. 1999).

2.      Etiologi
Etiologi thypoid abdominalis adalah salmonella typhi yang berhasil diisolasi pertama kali dari seorang pasien thypoid abdominalis oleh Gaffkey di Jerman pada tahun 1884, mikroorganisme ini merupakan bakteri gram negatif yang motil dan bersifat aerob. Kuman Salmonella thypii masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan minuman yang tercemar. (Soegeng Soegijanto, 2002)
Salmonella thyphi terdiri dari , Salmonella parathyphi A, Salmonella parathyphi B, dan Salmonella parathyphi C. Salmonella thyphi merupakan basil gram negatif yang bergerak dengan rambut getar, tidak berspora, mempunyai sekurang-kurangnya empat macam antigen yaitu antigen O (somatik, terdiri dari zat kompleklipolisakarida), antigen H (flagela), antigen V1 dan protein membran hialin. Kuman tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15 – 41°C (optimum 37°C) dan pH pertumbuhan 6 – 8.
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus mengekresi salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.
4.      Gejala Klinis
Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 – 30) hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodromal (gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas) :
• Perasaan tidak enak badan
• Lesu
• Nyeri kepala
• Pusing
• Diare
• Anoreksia
• Batuk
• Nyeri otot (Mansjoer, Arif 1999).
Menyusul gejala klinis yang lain
1.      Demam berlangsung 3 minggu
§  Minggu I : Demam remiten, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore dan malam hari
§  Minggu II : Demam terus
§  Minggu III : Demam mulai turun secara berangsur – angsur
2.   Gangguan pada saluran pencernaan
§  Lidah kotor yaitu ditutupi selaput kecoklatan kotor, ujung dan tepi kemerahan, jarang disertai tremor
§  Hati dan limpa membesar yang nyeri pada perabaan
§  Terdapat konstipasi, diare
3.   Gangguan Kesadaran
§  Kesadaran yaitu apatis – somnolen
§  Gejala lain “ROSEOLA” (bintik-bintik kemerahan karena emboli hasil dalam kapiler kulit)
3.      Insiden
Thypoid abdominalis merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas didaerah tropis dan subtropis terutama didaerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran thypoid abdominalis di negara sedang berkembang adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standar hygiene industri pengelolahan makanan yang masih rendah. Menurut PANG, selain karena meningkatnya urbanisasi, thypoid abdominalis masih terus menjadi masalah karena faktor lain yaitu penyediaan air bersih yang tidak memadai. (Soegeng Soegijanto, 2002)

Di Indonesia, thypoid abdominalis terdapat dalam keadaan endemik, pasien anak yang ditemukan berumur diatas satu tahun. (Ngastiyah, 2005).
Selama ini penyakit thypoid abdominalis masih merupakan masalah kesehatan diberbagai negara tropis, terutama Indonesia, kejadian tifus didunia sekitar 16 juta kasus setiap tahunnya. Di Indonesia kejadian thypoid abdominalis mencapai 760-810 kasus per 100 ribu penduduk per tahun. (Anonim, 2007).

4.      Patofisiologi
Infeksi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap diusus halus melalui pembuluh limfe lalu masuk kedalam peredaran darah sampai diorgan-organ lain, terutama hati dan limfa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limfe sehingga organ-organ tersebut akan membesar (hipertropi) disertai nyeri pada perabaan, kemudian basil masuk kembali kedalam darah (bakteremia) dan menyebar keseluruh tubuh terutama kedalam kelenjar limfoid usus halus, sehingga menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa diatas plak peyeri. Tukak tersebut dapat menimbulkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin, sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus. (Ngastiyah, 2005).

5.      Masa Inkubasi (Manifestasi Klinik)
Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 – 30) hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodromal (gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas) :
• Perasaan tidak enak badan
• Lesu
• Nyeri kepala
• Pusing
• Diare
• Anoreksia
• Batuk
• Nyeri otot (Mansjoer, Arif 1999).

a.       Masa tunas 10 – 20 hari yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan jika melalui minuman yang terlama 30 hari.
b.      Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat, nafsu makan kurang.
c.       Demam. Pada kasus yang khas demam berlangsung 3 minggu, bersifat febris remiten dan suhu tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan demam, pada minggu ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
d.      Gangguan pada saluran pencernaan. Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan.
e.       Gangguan kesadaran, umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak dalam yaitu apatis sampai somnolen, jarang terjadi stupor atau koma (kecuali penyakitnya berat dan terlambat mendapatkan pengobatan).
f.       Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan roseola yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit yang dapat ditemukan pada minggu pertama demam.


6.      Test Diagnostik
a.       Pemeriksaan darah
1)      Pemeriksaan darah untuk kultur (biakan empedu)
Salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah penderita pada minggu pertama sakit, lebih sering ditemukan dalam urine dan feces dalam waktu yang lama.

2)      Pemeriksaan widal
Pemeriksaan widal merupakan pemeriksaan yang dapat menentukan diagnosis thypoid abdominalis secara pasti. Pemeriksaan ini perlu dikerjakan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya. (diperlukan darah vena sebanyak 5 cc untuk kultur dan widal)

b.      Pemeriksaan sumsum tulang belakang
Terdapat gambaran sumsum tulang belakang berupa hiperaktif Reticulum Endotel System (RES) dengan adanya sel makrofag.

7.      Upaya Pencegahan
v  Usaha terhadap lingkungan hidup :
a.       Penyediaan air minum yang memenuhi
b.      Pembuangan kotoran manusia (BAK dan BAB) yang hygiene
c.       Pemberantasan lalat.
d.      Pengawasan terhadap rumah-rumah dan penjual makanan.
v  Usaha terhadap manusia.
a.       Imunisasi
b.      Pendidikan kesehatan pada masyarakat : hygiene sanitasi personal hygiene. (Mansjoer, Arif 1999).

a.       Perawatan
Pasien thypoid perlu dirawat di Rumah Sakit untuk mendapatkan perawatan, observasi dan diberikan pengobatan yakni :
1)      Isolasi pasien.
2)      Desinfeksi pakaian.
3)      Perawatan yang baik untuk menghindari komplikasi, mengingat sakit yang lama, lemah, anoreksia dan lain-lain.
4)      Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu setelah suhu normal kembali (istirahat total), kemudian boleh duduk jika tidak panas lagi, boleh berdiri kemudian berjalan diruangan.

b.      Diet
Makanan harus mengandung cukup cairan, kalori dan tinggi protein. Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak merangsang dan tidak menimbulkan gas, susu 2 gelas sehari, bila kesadaran pasien menurun diberikan makanan cair melalui sonde lambung. Jika kesadaran dan nafsu makan anak baik dapat juga diberikan makanan biasa.
Mekanismenya :
·         Diet yang sesuai, cukup kalori, tinggi protein, cukup cairan,tidak boleh mengandung banyak serat, dan tidak merangsang maupun menimbulakan gas.
·         Makanan diberikan secara bertahap disesuaikan dengan penyakitnya (mula-mula cair, saring, lunak, makanan biasa). Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
·         Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
·         Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari.

c.       Obat
Pengobatan antibiotika pada penderita Typhus andominalis akan memperpendek perjalanan penyakit, mengurangi komplikasi dan mengurangi angka kematian kasus. Obat-obat simtomatik sebenarnya tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap pasien karena tidak banyak berguna (sesuai dengan penyakit) misalnya:
·         Antipiretik
·         Kartikosteroid (diberikan pada pasien yang toksik)
·         Suportif (vitamin-vitamin)
·         Penenang (diberikan pada pasien dengan gejala neuroprikatri).
Obat anti mikroba yang sering digunakan :
1)      Cloramphenicol
Cloramphenicol masih merupakan obat utama untuk pengobatan thypoid.
Dosis untuk anak : 50 – 100 mg/kg BB/dibagi dalam 4 dosis sampai 3 hari bebas panas/minimal 14 hari.
2)      Kotrimaksasol
Dosis untuk anak : 8 – 20 mg/kg BB/hari dalam 2 dosis sampai 5 hari bebas panas/minimal 10 hari.
3)      Bila terjadi ikterus dan hepatomegali : selain Cloramphenicol juga diterapi dengan ampicillin 100 mg/kg BB/hari selama 14 hari dibagi dalam 4 dosis.

;;

By :
Free Blog Templates